Sejarah Singkat Kota Jakarta
—
Minggu, 04 Maret 2018
—
Add Comment
—
Sejarah
Jakarta mengawali sejarahnya sebagai kota pelabuhan yang
bernama “Sunda Kelapa” pada masa kerajaan Hindu Pajajaran. Pada tahun 1552
bangsa Portugis tiba di Sunda Kelapa atas utusan Gubernur malaka dan merupakan
bangsa barat yang pertama datang ke Sunda Kelapa. Dengan tujuan meminta ijin
untuk mendirikan benteng pertahanan di dekat muara Sungai Ciliwung. Setelah
berhasil mengadakan perjanjian dengan penguasa Sunda Kelapa Bangsa Portugis
kembali ke Malaka.
Pada 1527 bangsa Portugis kembali ke Sunda Kelapa namun
tanpa diketahui Sunda Kelapa telah jatuh ke tangan FATAHILLAH dan bangsa
Portugis berusaha merebut kembali Sunda Kelapa. Maka terjadilah pertempuran
antara bangsa Portugis dan Fatahillah di sekitar teluk Jakarta. Atas pertemuan
ini Fatahillah menang dan mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Cornelis De Houtman datang (1596) dan mendirikan VOC (1619).
Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia dibawah pimpinan Belanda ± 350 tahun
kekuasaannya di Indonesia.
Belanda takluk kepada Jepang (1942), kemudian Batavia
diganti nama menjadi Jakarta.
Wilayah Jakarta terdiri dari 5 kotamadya :
1. Jakarta Pusat
2. Jakarta Barat
3. Jakarta
Selatan
4. Jakarta Timur
5. Jakarta Utara.
Nama Jakarta digunakan sejak masa penjajahan Jepang tahun
1942, nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta yang diberikan
oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan)
setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni
1527. Nama ini adalah terjemahan dari kata "kota kemenangan" atau
"kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang
diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha".
Namun sumber lain mengatakan seperti João de Barros dalam
Décadas da Ásia ( portugis ) (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara
dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah peninggalan piagam dari
Banten yang dibaca ahli epigrafi Van der
Tuuk telah menyebut istilah wong Jaketra. Nama Jaketra juga disebutkan dalam
surat-surat Sultan Banten dan Sajarah Banten
sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan Cornelis de
Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra
(raja Jakarta).
Sunda Kelapa (397–1527)
Jakarta dikenal pertama kali sebagai salah satu pelabuhan
Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai
Ciliwung. Menurut sumber Portugis, Sunda
Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain
pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam
teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat
ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa
Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari.
Kerajaan
Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5
sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan
merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura. Pada abad ke-12 pelabuhan ini adalah pelabuhan lada tersibuk
didunia. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan,
dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti
porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk
ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Jayakarta (1527–1619)
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang
ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis
yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai
perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari
Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka
tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya
Dikusumah, dimana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya.
Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon
yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut
peristiwa ini tragedi, karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota
pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk syahbandar
pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, walikota
Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan pelabuhan Sunda
Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut
menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan". Selanjutnya Sunan
Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta
kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan
Banten.
Batavia (1619–1942)
Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16,
setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17
diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten.
Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah
mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi
Batavia.
Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi
kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor
budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali,
Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat
bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama
suku Betawi.
Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini
dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak
tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti
masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada
zaman kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka
di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan,
Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia
dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini,
banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap
Belanda.Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia
berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk
dua kotapraja atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun
1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru
bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935,
Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah
wilayah Jakarta Raya.
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih
luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java
adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan
surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad
(Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932
No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java
disamping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.
Penjajahan Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti
nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.
Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan
tahun 1949.
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi
Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari
sebuah kotapraja di bawah walikota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu
(Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah
Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu
itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno.
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta
melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir
semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari
dua kali. Berbagai kantung pemukiman kelas menengah baru kemudian berkembang,
seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan.
Pusat-pusat pemukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai
kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan
pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan
Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai
dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan
Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat pemukiman besar pertama yang dibuat
oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya)
pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh
gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai
"kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan
dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini,
Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat
kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat
transportasi umum yang memadai.
0 Response to "Sejarah Singkat Kota Jakarta"